01 September 2009

Rambu lalu lintas Jakarta: mundurnya sebuah peradaban

Suatu sore saya melintasi sebuah perempatan jalan yang mulai macet dari jarak kira-kira 200 meter sebelum lampu lalu lintas. Suara klakson kendaraan menyalak bergantian mengusik lembayung sore yang menandai bahwa matahari akan segera terbenam. Limabelas menit waktu yang saya habiskan sampai saya berhasil menyeberangi perempatan jalan tersebut. Artinya, saya melintasi perempatan tersebut dengan kecepatan 0.8 km per jam! Untuk mempertegas bahwa lampu lalu lintas saja tidak cukup untuk mengatur lalu lintas Jakarta di sore hari, sekelompok petugas lalu lintas turun ke jalan mengatur lalu lintas dengan alat bantu lain, yaitu tangan mereka sendiri. Telapak tangan kiri dijulurkan menghadap ke luar menjauhi tubuh mereka. Artinya, lajur yang berhadapan dengan telapak tangan tersebut harus berhenti. Sementara, tangan kanan mereka mengayun menyiku dari arah belakang menuju depan, seperti mengajak kendaraan yang searah dengan arah pergerakan tangan untuk segera melaju.

Setibanya saya di seberang jalan, saya melihat banyak kendaraan umum yang berhenti menunggu penumpang. “Ini yang membuat aliran lalu lintas jadi terhambat,” pikirku. Padahal rambu tersebut dibuat berdasarkan logika dasar, tidak boleh ada penyumbatan di dekat aliran yang deras. Konsekuensinya, dengan arus kendaraan yang besar setelah lampu merah, kalau ada kendaraan yang berhenti di depannya pasti akan menyumbat aliran tersebut. Kalau satu periode lampu hijau didesain untuk mengalirkan 50 kendaraan, maka karena penyumbatan hanya 30 kendaraan yang mampu melintas. Artinya, 20 kendaraan ‘gagal’ melewati lampu hijau tersebut dan menunggu giliran berikutnya. Sementara itu, 50 kendaraan baru akan datang dan di lampu lalu lintas itu sudah ada 70 kendaraan yang menunggu untuk menyeberang. Ketika kembali hanya 30 kendaraan yang dapat menyeberang, 40 kendaraan gagal untuk menyeberang dan harus menunggu giliran berikut bersama 50 kendaraan lain yang baru tiba. Akibatnya, kegagalan tersebut terkumulasi dan jarak 200 meter harus ditempuh dalam waktu 15 menit!

Saya tidak habis pikir. Kenapa petugas memilih untuk sibuk memerangi lidah api sementara sumber api tersebut sangat mudah untuk dipadamkan. Bukankah lebih mudah untuk mengatur objek berhenti dibandingkan dengan menggerak-gerakkan tangan di tengah keruwetan lalu lintas dengan resiko tertabrak atau terserempet kendaraan?

Seperti otomatis, otak saya merambat ke pengalaman lain. Betapa sering saya melihat kendaraan parkir di bawah rambu dilarang parkir. Atau kendaraan yang melawan arus pada jalan satu arah atau bahkan belakangan ini di jalan raya, hanya karena malas berputar. Atau metromini dan bis kota yang menurunkan penumpang di tengah jalan. Benar-benar di tengah jalan!

Lalu apa arti rambu lalu lintas? Sepengetahuan saya, rambu lalu lintas bukanlah alat untuk menghias jalan. Rambu lalu lintas adalah tanda yang dipasang pada sisi jalan untuk memberikan informasi, yang tentu saja berguna, kepada semua pengguna jalan. Dan karena rambu lalu lintas saat ini didasari oleh Keputusan Menteri (KM) Perhubungan No. 61 Tahun 1993, maka rambu lalu lintas juga adalah sarana hukum. Informasi yang disampaikannya kepada pemakai jalan hanya tiga jenis, yaitu bersifat perintah dan larangan, peringatan terhadap suatu bahaya, dan rambu petunjuk berupa arah. Rambu lalu lintas yang bersifat perintah dan larangan, hukumnya wajib untuk dipatuhi, dan bagi yang melanggarnya dapat ditindak sesuai peraturan yang berlaku.
Kemudian secara otomatis, saya mulai menggali memori yang terselip di antara sel-sel otak, kembali ke tahun 1980-an. Saat itu saya merasakan bahwa rambu lalu lintas masih berkekuatan hukum. Pengguna jalan, berada di antara menyadari kepentingan umum dan takut akan konsekuensi hukum, mematuhi rambu lalu lintas. Saat itu jalan tol Jagorawi baru diresmikan, dan rambu kecepatan maksimum dan minimum masih berlaku. Dan saat itu kendaraan tidak berputar ketika rambu melarang untuk berputar. Saat tu bus Patas masih berfungsi sesuai dengan singkatan namanya, Cepat dan Terbatas.

Tiba-tiba saya merasa bersyukur lahir di tahun 1970-an. Saya membayangkan teman-teman saya yang lahir di tahun 1990-an, yang mungkin belum sempat mengalami masa-masa di mana ketertiban lalu lintas dapat terjaga karena rambu lalu lintas masih memiliki wibawa. Konon, saat ini kita sedang mengalami kemajuan peradaban. Internet, telepon seluler, blackberry adalah beberapa simbol kemajuan peradaban. Akan tetapi ketika saya sedang di jalan raya, menyaksikan pelanggaran terhadap rambu lalu lintas, pertanyaan ini yang muncul. Apakah saya sedang berada di tengah kemunduran sebuah peradaban?

0 komentar:

Posting Komentar