13 September 2009

Menggeser perilaku

Semenjak saya kecil, di rumah orang tua saya selalu ada kucing. Kami tidak pernah secara khusus memelihara mereka, biasanya mereka datang sendiri. Mungkin karena ayah saya selalu memberikan makan malam untuk kucing-kucing di lingkungan rumahnya. Menurut beliau, itu adalah wujud dari berbagi kepada sesama. Entah sudah berapa generasi, dari berapa induk. Yang jelas, dalam satu kurun waktu hanya ada satu ibu kucing yang beranak pinak sampai si ibu meninggal atau tiba-tiba menghilang. Mungkin karena mereka tidak mau meninggal di rumah. Kemudian akan datang satu ibu baru, terkadang calon ibu. Dan dia akan tinggal di rumah, beranak pinak, sampai kemudian kembali meninggal atau tiba-tiba menghilang.

Sekarang ini, ada satu induk kucing yang tinggal di rumah orang tua saya. Bulunya putih, dengan pemanis beberapa bulatan hitam keabu-abuan di sekujur tubuhnya. Seperti kanvas putih yang diolesi kuas secara acak. Kira-kira setengah tahun yang lalu, dia datang dalam keadaan hamil tua dan sedang mencari tempat agar anak-anak yang dilahirkannya dapat merasa aman dan nyaman. Dan seperti biasa, ayah saya akan menyediakan kardus yang dialasi dengan tumpukan koran, agar si kucing merasa hangat. Kucing ini liar, tidak mau didekati meskipun dia akan datang ketika diberi makan. Kucing ini tidak bisa disentuh dan terlihat selalu dalam keadaan waspada kalau ada orang yang mendekatinya. Kucing liar, bukan kucing rumahan. Mungkin terbiasa hidup di pasar dan selalu dikejar-kejar orang karena dianggap mencuri ikan yang mereka jual. Terkadang dilempar sandal, bahkan mungkin batu, atau apapun yang ada di sekitar orang tersebut. Kadang hanya diusir dengan gerakan tangan ke atas, berpura-pura mau melempar sambil berteriak, “Huuuussshhhh…..”

Malam ini ketika saya berkunjung ke rumah orang tua saya, saya memperhatikan ada yang berbeda dari kucing ini. Dia menjadi jinak dan bisa disentuh, dan juga membiarkan anak-anaknya saya sentuh. Kewaspadaannya tetap saya bisa rasakan, tetapi diiringi dengan kepasrahan dan kepercayaan bahwa saya tidak akan menyakiti dia dan anak-anaknya.

Hal ini membuat saya berpikir mengenai pergeseran perilaku atau shifthing behavior. Jelas ada yang bergeser dari perilaku kucing ini. Tadinya secara otomatis dia akan merasa terancam dengan orang asing. Mungkin pertama kali dia baru bisa menerima ayah saya, orang yang sering memberinya makan. Lalu mulai percaya bahwa tidak akan ada orang yang akan menyakitinya di rumah tersebut. Pergeseran perilaku kucing ini juga ternyata membawa pergeseran perilaku terhadap anak-anaknya. Yang sekarang tinggal di rumah adalah giliran yang kedua lahir di rumah saya. Anak-anaknya yang lahir dari kelahiran pertamanya di rumah saya, sangat sulit untuk didekati dan disentuh. Anak-anak yang ini, lebih mudah untuk didekati dan disentuh.

Kucing ini jelas telah melintasi beberapa hambatannya. Dia telah berhasil menembus rasa takutnya, bahwa saya akan menyakitinya. Tentu dia tidak tiba-tiba saja mau di sentuh. Mungkin awalnya dia hanya mau berada di luar radius 2 meter dari saya. Kemudian mulai berani di radius satu meter. Sampai akhirnya berani untuk tidur di bawah kaki saya. Kalau tadinya ketika saya berjalan ke arahnya dia akan langsung loncat, mungkin dia memulai dengan tidak langsung loncat, tetapi berdiri waspada. Ketika tangan saya ingin menggapainya, baru kemudian dia lari. Kemudian dia mulai membiarkan tangan saya menyentuhnya sedikit. Dan sekarang dia sudah membiarkan saya mengelusnya.

Pergeseran perilaku kucing ini sudah berhasil membuat saya merasa lebih dekat dengannya. Merasa lebih sayang dengannya. Akibatnya, tentu saya lebih memperhatikannya. Memberikannya lebih banyak makanan ekstra. Akibat lebih jauhnya, gizi kucing ini mungkin menjadi lebih baik, sehingga juga meningkatkan kualitas susu yang diberinya untuk anak-anaknya. Anak-anak ini, kemudian menjadi lebih kuat dan lebih lincah dibandingkan dengan anak-anak sebelumnya, dengan ketahanan tubuh yang lebih baik. Anak-anak ini juga bisa mendapatkan tempat berteduh dan tempat bermain yang aman untuk mereka. Pergeseran perilaku kucing ini, telah membawa hasil yang lebih baik bagi dirinya, anak-anaknya dan lingkungannya!

Perilaku sebelumnya mungkin telah dibentuk oleh pengalaman dan lingkungannya. Mungkin ibunya juga adalah seekor kucing liar, yang setiap hari harus berperang dengan lingkungannya. Entah wejangan-wejangan apa yang diberikan oleh ibunya. Perilaku otomatisnya adalah, dia siap mencakar siapapun yang berusaha dekat dengannya. Siap lari ketika merasakan bahaya mengancam. Kepercayaannya, adalah bahwa manusia adalah makhluk pemukul, pelempar, penyiram air, pengusir, penarik ekor. Bahwa bangsa manusia adalah musuh yang akan mengancam keselamatan bangsa kucing.

Kemudian dia belajar, bahwa sikap memusuhi manusia tidak membawa hasil yang lebih baik bagi dia dan anak-anaknya. Makanan sulit untuk didapatkan,dan anak-anaknya tidak mendapatkan tempat berteduh yang nyaman dan aman bagi pertumbuhan mereka. Mungkin dia belajar setelah satu demi satu anaknya mati karena sakit atau kurang gizi. Mungkin suatu hari dia pernah berkenalan dengan seekor kucing rumah yang kemudian menceritakannya betapa nyaman dekat dengan manusia. Mungkin dia datang ke rumah orang tua saya setelah berkali-kali diusir dari rumah orang lain yang tidak mau menerimanya.


Pergeseran perilaku kucing ini membuat saya merenung, pergeseran perilaku apa yang saya lakukan belakangan ini? Ketika pertama kali bertemu orang, apakah saya masih merasa tidak nyaman? Apakah saya merasa bahwa orang yang baru saya temui adalah ancaman buat saya? Perilaku apa yang masih saya pertahankan, sehingga hidup saya dan lingkungan saya tidak menjadi lebih baik? Perilaku apa yang tidak ingin saya geser, sementara saya tahu bahwa akan ada kemungkinan lain kalau saya bersedia untuk menggeser perilaku tersebut. Sampai kapan saya akan membiarkan semua perasaan saya mengendalikan tindakan saya, dan pada akhirnya mengendalikan hidup saya?


-ijas-

06 September 2009

Belok kiri: langsung atau tidak langsung? (UU No 22-2009)

Beberapa kali saya berdebat dengan istri saya di mobil ketika kami ingin belok kiri. Saya berpendapat bahwa belok kiri tidak boleh langsung, kecuali dinyatakan dalam tanda khusus. Tanda tersebut bisa berupa lampu lalu lintas khusus untuk belok kiri, atau sebuah tanda, "Belok Kiri Langsung." Sementara istri saya berpendapat kebalikannya, belok kiri boleh langsung kecuali ada rambu yang menyatakan sebaliknya. Perbedaan pendapat tersebut juga terjadi di antara teman-teman saya, dengan argumen yang sama dengan saya atau istri saya.

Karena itu, saya mencari beberapa peraturan mengenai ketentuan belok kiri tersebut. Hasilnya cukup mengejutkan untuk saya, bahwa hukum yang diacu sampai tanggal 22 Juni 2009, adalah PP 43/1993 pasal 59 ayat 3, yang berbunyi : "Pengemudi dapat langsung belok ke kiri pada setiap persimpangan jalan, kecuali ditentukan lain oleh rambu-rambu atau alat pemberi isyarat lalu lintas pengatur belok kiri."

Yang membuat saya terkejut adalah kenyataan bahwa ada beberapa teman saya yang 'ditilang' karena mereka langsung belok kiri ketika lampu lalu lintas (bukan yang mengatur belok kiri) berwarna merah. Mungkin teman-teman saya melakukan kebodohan, karena mereka membiarkan ketidaktahuan mereka akan dasar hukum belok kiri menjadi hukuman bagi mereka. Akan tetapi, kebodohan saya ternyata lebih besar lagi. Selama ini saya telah merajut pengalaman-pengalaman orang lain menjadi sebuah fakta, bahkan menjadi sebuah dasar hukum yang beberapa kali saya bawa ke dalam pembicaraan!

Jadi antara tahun 2006 (ketika saya sudah kembali ke Jakarta) sampai pertengahan Juni lalu istri saya benar. Dan saya memelihara kekeraskepalaan tersebut sampai beberapa hari yang lalu ketika saya mencari peraturan yang mengatur belok kiri di persimpangan jalan.

Peraturan Pemerintah tersebut kemudian dianulir oleh sebuah Undang-undang (kenapa dianulirnya oleh Undang-undang ya?), UU No 22-2009, pasal 112 ayat 3 yang berbunyi: "Pada persimpangan Jalan yang dilengkapi Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Pengemudi Kendaraan dilarang langsung berbelok kiri, kecuali ditentukan lain oleh Rambu Lalu Lintas atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas."

Sayangnya, masih banyak pengguna jalan yang ridak mengetahui peraturan tersebut. Entah karena sosialisasi yang kurang (sengaja tidak dilakukan?) atau karena ketidakpedulian pengguna jalan terhadap peraturan yang berlaku. Semua orang merasa tahu, atau merasa tidak perlu tahu. Seorang teman malah 'ditilang' berkali-kali karena ketidaktahuan yang sama. Hal ini mengajarkan saya untuk tidak berasumsi dan merasa tahu hanya karena pengalaman orang lain. Saya juga berharap agar orang yang membaca tulisan saya ini dapat mensosialisasikan hal ini kepada teman dan sanak famili agar tidak terjebak ketidaktahuan terhadap peraturan ini.

(-ijas-)

Kedewasaan dalam berlalulintas

Hrand Saxenian, seorang profesor dari Harvard Business School, mendefininiskan kedewasaan sebagai "keseimbangan antara keberanian dengan pertimbangan." Teori ini dikembangkan oleh Stephen R Covey ketika mengulas bagaimana untuk mendapatkan "win-win" dalam hubungan interpersonal di dalam bukunya, The 7 Habits of Highly Effective People. Setelah membaca bagian buku tersebut, saya dapat merasakan hubungan antara teori tersebut dengan perilaku masyarakat Jakarta dalam berkendara di belantara lalu lintas.

Kedewasaan dalam berlalulintas dicerminkan oleh keberanian untuk berkendara, tidak ragu-ragu dan merasa yakin dengan apa yang dilakukan saat berkendara. Akan tetapi, keberanian tersebut juga seharusnya diimbangi oleh kesadaran bahwa lalu lintas adalah sebuah ruang publik. Seyogyanya pengguna lalu lintas dewasa juga mempertimbangkan kepentingan orang lain dan menjalani peraturan lalu lintas sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Hal ini akan menciptakan situasi 'win-win', karena si pengendara dapat sampai ke tujuan bukan hanya dengan selamat, tetapi juga dengan tenang karena tidak mengusik kepentingan orang lain. Dan orang lain juga dapat sampai di tempat tujuan mereka dengan selamat dan senang.

Keberanian yang tinggi dengan pertimbangan yang rendah akan menciptakan kemenangan bagi pengendara, tetapi kekalahan bagi orang lain. Berani melawan arah, berani melanggar rambu lalu lintas, berani memotong jalan kendaraan lain (adu cepat memasukkan hidung kendaraan), berani untuk membelokkan kendaraan tanpa menyalakan lampu isyarat, berani menjalankan kendaraan di atas batas kecepatan dan masih banyak contoh lainnya. Betul, si pengendara akan cepat sampai di tujuan mereka. Akan tetapi perilaku tersebut sudah mengorbankan orang lain, bahkan mungkin mencelakakan orang lain. Situasi yang tercipta adalah 'win-lose', karena si pengendara tersebut menang, dapat sampai ke tujuan dengan cepat, tetapi di atas penderitaan orang lain. Mungkin si 'korban' hanya dapat bersumpah-serapah terhadap kelakukan si pengendara tersebut. Kalau setiap hari si pengendara melakukan ini, bagaimana rasanya hidup dalam sumpah-serapah orang lain?

Pertimbangan yang tinggi, tetapi dengan keberanian yang rendah juga tidak memberikan hasil yang efektif. Misalnya, si pengendara ada di persimpangan jalan yang tidak diatur oleh lampu lalu lintas. Berdasarkan perhitungan kecepatan, seharusnya dia bisa melintasi persimpangan tersebut, tetapi tidak dilakukan karena takut akan membuat kendaraan yang melintasi harus mengurangi kecepatan. Akibatnya, kendaraan yang di belakangnya juga tidak bisa melaju, ikut tertahan akibat ketidakberanian si pengendara tersebut. Satu, dua, tiga kendaraan menumpuk di belakangnya, dan pada akhirnya mengakibatkan kemacetan lalu lintas. Atau seorang pengendara sepeda motor, yang berhenti di lampu merah di desak oleh kendaraan lain yang tidak sabar. Karena dia tidak ingin melanggar lampu merah, tetapi juga tidak berani untuk tetap berhenti di lajurnya dengan tenang menunggu giliran lampu hijau, akhirnya memipirkan sepeda motornya, memberikan jalan kepada orang lain dengan gerutu di dalam hati. Si pengendara ini kalah, orang lain yang menang sehingga situasinya menjadi 'lose-win'. Atau ekstremnya, seorang pengendara berjalan dengan kecepatan sangat rendah, dan meminggirkan kendaraan setiap ada yang mau menyalip kendaraannya. Terus kapan mau sampai di tujuan?

Yang terakhir, adalah ketika baik keberanian maupun pertimbangan kedua-duanya rendah. Yang akan diciptakan oleh situasi ini adalah mental ikut-ikutan, bahkan ketika yang dilakukan adalah sesuatu yang salah. Contohnya, si pengendara mengetahui bahwa lampu merah adalah tanda untuk berhenti, sehingga dia berhenti. Akan tetapi, karena kendaraan di depannya memutuskan untuk jalan terus, si pengendara memutuskan untuk mengikuti kendaraan tersebut dan melanggar lampu merah. Apalagi karena di belakangnya kendaraan lain juga memberi klakson meminta jalan. Si pengendara tidak berani untuk membuat sebuah pendirian yang diketahuinya, dan kemudian memutuskan untuk mengganggu kepentingan orang lain (mungkin pejalan kaki yang menyeberangi jalan). Buat saya, ini adalah kelompok yang sangat berbahaya dan harus banyak diberikan perhatian. Sangat banyak pelaku pidana yang mengaku melakukan tindak pidana tersebut karena sekedar ikut-ikutan teman atau takut untuk dibilang tidak setia kawan. Pada akhirnya, si pelaku terpaksa harus menjalani hukuman atas sesuatu perbuatan yang tidak sesuai dengan kata hatinya, dan turut menjadi korban atas perbuatannya. Situasi menjadi 'lose-lose', artinya semua pihak menjadi kalah. Orang lain dan diri sendiri yang kemudian menjadi korban.

Batas minimal umur untuk dapat memiliki SIM (UU no.22/2009) adalah 17 tahun. Dasar pemikirannya adalah, seseorang seharusnya sudah memiliki kedewasaan yang cukup untuk dapat mengendalikan kendaraannya. Atau berdasarkan definisi kedewasaan di atas, orang tersebut dianggap sudah memiliki keseimbangan antara keberanian dengan pertimbangannya. Akan tetapi berdasarkan situasi lalu lintas Jakarta sekarang, benarkah ada korelasi antara usia seseorang dengan kedewasaan dalam berkendara?

-ijas-

01 September 2009

Rambu lalu lintas Jakarta: mundurnya sebuah peradaban

Suatu sore saya melintasi sebuah perempatan jalan yang mulai macet dari jarak kira-kira 200 meter sebelum lampu lalu lintas. Suara klakson kendaraan menyalak bergantian mengusik lembayung sore yang menandai bahwa matahari akan segera terbenam. Limabelas menit waktu yang saya habiskan sampai saya berhasil menyeberangi perempatan jalan tersebut. Artinya, saya melintasi perempatan tersebut dengan kecepatan 0.8 km per jam! Untuk mempertegas bahwa lampu lalu lintas saja tidak cukup untuk mengatur lalu lintas Jakarta di sore hari, sekelompok petugas lalu lintas turun ke jalan mengatur lalu lintas dengan alat bantu lain, yaitu tangan mereka sendiri. Telapak tangan kiri dijulurkan menghadap ke luar menjauhi tubuh mereka. Artinya, lajur yang berhadapan dengan telapak tangan tersebut harus berhenti. Sementara, tangan kanan mereka mengayun menyiku dari arah belakang menuju depan, seperti mengajak kendaraan yang searah dengan arah pergerakan tangan untuk segera melaju.

Setibanya saya di seberang jalan, saya melihat banyak kendaraan umum yang berhenti menunggu penumpang. “Ini yang membuat aliran lalu lintas jadi terhambat,” pikirku. Padahal rambu tersebut dibuat berdasarkan logika dasar, tidak boleh ada penyumbatan di dekat aliran yang deras. Konsekuensinya, dengan arus kendaraan yang besar setelah lampu merah, kalau ada kendaraan yang berhenti di depannya pasti akan menyumbat aliran tersebut. Kalau satu periode lampu hijau didesain untuk mengalirkan 50 kendaraan, maka karena penyumbatan hanya 30 kendaraan yang mampu melintas. Artinya, 20 kendaraan ‘gagal’ melewati lampu hijau tersebut dan menunggu giliran berikutnya. Sementara itu, 50 kendaraan baru akan datang dan di lampu lalu lintas itu sudah ada 70 kendaraan yang menunggu untuk menyeberang. Ketika kembali hanya 30 kendaraan yang dapat menyeberang, 40 kendaraan gagal untuk menyeberang dan harus menunggu giliran berikut bersama 50 kendaraan lain yang baru tiba. Akibatnya, kegagalan tersebut terkumulasi dan jarak 200 meter harus ditempuh dalam waktu 15 menit!

Saya tidak habis pikir. Kenapa petugas memilih untuk sibuk memerangi lidah api sementara sumber api tersebut sangat mudah untuk dipadamkan. Bukankah lebih mudah untuk mengatur objek berhenti dibandingkan dengan menggerak-gerakkan tangan di tengah keruwetan lalu lintas dengan resiko tertabrak atau terserempet kendaraan?

Seperti otomatis, otak saya merambat ke pengalaman lain. Betapa sering saya melihat kendaraan parkir di bawah rambu dilarang parkir. Atau kendaraan yang melawan arus pada jalan satu arah atau bahkan belakangan ini di jalan raya, hanya karena malas berputar. Atau metromini dan bis kota yang menurunkan penumpang di tengah jalan. Benar-benar di tengah jalan!

Lalu apa arti rambu lalu lintas? Sepengetahuan saya, rambu lalu lintas bukanlah alat untuk menghias jalan. Rambu lalu lintas adalah tanda yang dipasang pada sisi jalan untuk memberikan informasi, yang tentu saja berguna, kepada semua pengguna jalan. Dan karena rambu lalu lintas saat ini didasari oleh Keputusan Menteri (KM) Perhubungan No. 61 Tahun 1993, maka rambu lalu lintas juga adalah sarana hukum. Informasi yang disampaikannya kepada pemakai jalan hanya tiga jenis, yaitu bersifat perintah dan larangan, peringatan terhadap suatu bahaya, dan rambu petunjuk berupa arah. Rambu lalu lintas yang bersifat perintah dan larangan, hukumnya wajib untuk dipatuhi, dan bagi yang melanggarnya dapat ditindak sesuai peraturan yang berlaku.
Kemudian secara otomatis, saya mulai menggali memori yang terselip di antara sel-sel otak, kembali ke tahun 1980-an. Saat itu saya merasakan bahwa rambu lalu lintas masih berkekuatan hukum. Pengguna jalan, berada di antara menyadari kepentingan umum dan takut akan konsekuensi hukum, mematuhi rambu lalu lintas. Saat itu jalan tol Jagorawi baru diresmikan, dan rambu kecepatan maksimum dan minimum masih berlaku. Dan saat itu kendaraan tidak berputar ketika rambu melarang untuk berputar. Saat tu bus Patas masih berfungsi sesuai dengan singkatan namanya, Cepat dan Terbatas.

Tiba-tiba saya merasa bersyukur lahir di tahun 1970-an. Saya membayangkan teman-teman saya yang lahir di tahun 1990-an, yang mungkin belum sempat mengalami masa-masa di mana ketertiban lalu lintas dapat terjaga karena rambu lalu lintas masih memiliki wibawa. Konon, saat ini kita sedang mengalami kemajuan peradaban. Internet, telepon seluler, blackberry adalah beberapa simbol kemajuan peradaban. Akan tetapi ketika saya sedang di jalan raya, menyaksikan pelanggaran terhadap rambu lalu lintas, pertanyaan ini yang muncul. Apakah saya sedang berada di tengah kemunduran sebuah peradaban?

New Kid on the Blog

....blog baru. Alat untuk saya belajar menulis, menganalisa, berbagi, bercerita, berpendapat, berdiri, berteriak, menggumam, menggerutu, mengajak, menantang, berfikir....