13 Oktober 2009

Lelaki yang menularkan senyum

Hari ini aku berangkat bekerja dengan perasaan muram. Kemarin malam istriku marah karena merasa aku tidak meluangkan waktu bersamanya dan anak-anak. Sejak itu sampai tadi pagi dia seperti tidak mau berbicara denganku, bahkan melihat wajahku saja enggan. Aku merasa seperti diberi tekanan untuk meluangkan waktu, setelah seharian bekerja di bawah tekanan di kantor. Padahal aku bekerja keras agar keluargaku dapat hidup dengan layak.

Sore ini aku harus mempresentasikan kemajuan sebuah proyek kepada Dewan Direksi, sementara beberapa data dari lapangan sampai sekarang belum aku terima. Satu laporan sudah dua kali aku kembalikan, karena ada kesalahan pada beberapa bagian. Dan yang sangat menyebalkan adalah ada kesalahan ketik angka yang sangat fatal, kurang digit di belakang! Apakah mereka tidak pernah memeriksa kembali laporannya sebelum diserahkan padaku? Hari ini jam 13:30 sudah dijadwalkan akan ada latihan menghadapi kebakaran yang wajib diikuti oleh semua penghuni gedung. Turun dari lantai 14 melalui tangga darurat hanya untuk sebuah latihan? Paling tidak waktuku bekerja akan hilang satu jam dengan percuma karena latihan yang tidak ada gunanya ini. Semua orang tahu bagaimana menghadapi situasi kebakaran, dan semua orang tahu di mana meeting point. Dan aku menuruni tangga dengan perasaan marah karena aku merasa tidak diberikan kesempatan untuk memilih apakah mau ikut latihan atau tidak.

Aku menuruni tangga dengan bayangan bahwa pekerjaanku tidak akan bisa selesai sore ini. Yang terbayang adalah wajah tidak puas Dewan Direksi sambil berbisik satu sama lain. Mungkin mereka semua akan setuju bahwa aku gagal, dan harus segera diganti. Sementara keluargaku rasanya semakin jauh, dan istriku semakin tidak mengerti bahwa mobil keluarga yang kami miliki adalah buah kerja kerasku selama ini. Di kepalaku seperti tertanam benang kusut yang berputar di dalam otakku. Sampai di meeting point, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang menatapku sambil tersenyum.

"Hai Pak."

"Halo," kataku datar.

"Kok kelihatannya pusing banget nih Pak," masih tetap tersenyum, kali ini kelihatannya lebih lebar dan tatapan matanya mencari bola mataku dengan ramah. Tanpa kusadari, tiba-tiba aku merasakan mulutku yang merengut mulai bergerak melebar, membentuk senyum.

"Iya Mas, banyak yang sedang dipikirin nih," jawabku, setengah malu terpergok.

"Kerjaan ya Pak?" tanyanya.

"Hehe... iya nih," kali ini terasa lebih ringan jawabanku.

"Oh..., tapi keluarga sehat semua kan, Pak?"

"Oh sehat semua, terima kasih."

Dan percakapan mulai mengalir dengan lancar di bawah terik matahari di meeting point, sampai lima menit kemudian lelaki itu minta diri karena ingin mencari beberapa teman kerjanya. Dan ketika dia pergi, aku merasa lebih segar dan lebih ringan. Kepercayaanku bahwa aku akan menyelesaikan pekerjaanku dengan baik kembali pacar. Bayangan istriku yang cemberut mulai memudar, digantikan kilatan rencanaku malam ini untuk membelikannya bunga matahari sambil meminta maaf. Benang kusut di kepalaku seperti terurai sudah, menguap entah ke mana. 

____________________________

Sudah hampir sebulan ini aku memperhatikan lelaki yang selalu tersenyum itu, meskipun aku tidak mengenalnya. Sepertinya belum lama bekerja di gedung ini, entah lantai berapa. Selalu mengenakan kemeja putih, dan lebih sering berlengan pendek dibanding panjang. Kalau berjalan, biasanya dengan tangan kanan dimasukkan ke dalam saku celana. Tentu yang sebelah kanan juga. Usianya mungkin pertengahan 30, usia yang membuatku iri ingin kembali. Beberapa kali aku berpapasan jalan dengannya, tapi rasanya waktuku terlalu mahal untuk berbasa-basi. Kadang aku terpaksa senyum sedikit untuk menjaga kesopanan dan segera berlalu karena biasanya aku berjalan sambil bekerja membaca email di blackberryku. Mungkin sebenarnya lebih sering lagi aku berpapasan dengannya kalau aku cukup perduli untuk melihat orang-orang di sekelilingku.

 

Lelaki itu mudah untuk kuingat karena sepertinya dia selalu tersenyum. Mungkin dua atau tiga kali aku kebetulan berjalan  bersama dia saat berjalan di lobby menuju lift, dan dia selalu menyapa ramah petugas informasi atau petugas keamanan gedung yang sedang duduk di meja informasi. Bahkan menanyakan kabar dengan memanggil nama petugas tersebut. Rasanya terlalu berlebihan. Untuk apa menanyakan kabar pekerja tidak tetap? Seingatku, paling lama dalam waktu tiga bulan petugas di meja itu sudah berganti orang. Buatku petugas yang duduk di meja hanyalah tubuh tanpa nama meskipun kadang mereka sedikit menganggukkan kepala saat aku lewat. Mereka tidak ada hubungannya dengan pekerjaanku dan dan aku tidak membutuhkan bantuan mereka menunjukkan arah kepadaku. Aku bekerja di gedung ini sudah empat tahun dan aku tahu kantorku ada di lantai 14.

________________________________

Dan sore ini aku menekan tombol lift sambil tersenyum. Presentasiku sukses, keputusan strategis berhasil dibuat berdasarkan laporan yang aku sampaikan tadi. Ada satu kesalahan ketik di satu halaman, tapi sepertinya tidak ada yang perduli. Dewan Direksi terlihat puas keluar dari ruang rapat, dan satu demi satu mengucapkan selamat kepadaku. Aku meninggalkan ruang rapat dengan menyadari bahwa ternyata hariku berubah setelah aku bertemu lelaki itu di meeting point. Aku akan berterimakasih kepadanya kalau bertemu lagi. Dan kemudian ketika lift membuka pintunya di lantaiku, aku masuk sambil menatap mata dua orang yang ada di dalam lift sambil tersenyum mengangguk. Di lantai 9 lift berhenti dan lelaki itu masuk. Rasanya senang sekali melihatnya, tetapi untuk berterimakasih kepadanya di dalam lift sepertinya sulit kulakukan.

Aku segera menyapanya, "Pulang Mas?"

"Belum Pak, mau istirahat makan. Lembur malam ini," katanya, sambil tersenyum. "Bapak sudah selesai?"

"Belum, mau istirahat juga."

"Kalau begitu kita makan bareng?"

"Boleh, tapi saya makan ringan saja. Nanti malam saya mau makan malam bersama istri..."

Dan sore ini aku duduk bersama lelaki itu. Tanpa kusadari aku bercerita kepadanya apa yang aku alami hari itu, dan aku memberanikan diri untuk berterimakasih kepadanya. Lelaki itu bilang kalau dia senang bahwa dia bisa membantuku hari ini. Dan dia menceritakan pengalamannya, bahwa suatu hari dia pernah merasakan hal yang sama denganku, ketika semua beban dunia ini memberati bahunya. Sampai dia bertemu dengan petugas tol Jagorawi yang menyapanya dengan senyum yang lebar. Setelah meninggalkan pintu tol itu, dia menyadari bahwa tiba-tiba beban tadi sudah terangkat, disapu jauh oleh senyum dan sapa ramah petugas tol itu. Masalah yang dihadapinya baru bisa diselesaikan keesokan harinya, tetapi dia menjalani hari itu dengan perasaan yang lebih ringan. Dan sejak hari itu dia berjanji akan lebih sering memberikan senyum kepada orang-orang yang ditemuinya, mengetahui bahwa sebuah senyum bisa merubah hari seseorang, bahkan mungkin hidup seseorang.

_____________

Jam sudah menunjukkan waktu pukul 19:00. Satu jam lagi sebelum reservasi makan malam di restoran favorit istriku. Aku akan menjemputnya dengan bunga matahari yang nanti aku akan beli di perjalanan pulang. Aku mulai mematikan komputer, merapikan meja dan memasukkan beberapa dokumen ke dalam tas kerjaku. Dan ketika meninggalkan ruang kerjaku, aku berjanji bahwa mulai malam ini aku akan menularkan senyum kepada orang-orang di sekitarku...

-ijas-

4 komentar:

MONOKROM mengatakan...

Bagus cerpennya! Enak sekali dibacanya!

diNa mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
diNa mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
diNa mengatakan...

Runtut dan bisa membawa emosi, nice posting! Senyum memang magnet yang dasyat. Jadi jangan pernah ragu memberikan senyum ke semua org sesibuk apapun kita.

Posting Komentar